Sunday, November 30, 2008

PROSEDUR PEMBUATAN KOMPOS DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN METODA WINDROW BERGULIR




PERINGATAN KESELAMATAN: hati-hati terhadap bahaya-bahaya terhadap kesehatan. Di dalam sampah mungkin terdapat bakteri-bakteri berbahaya.

1. PENDAHULUAN DAN DEFINISI

Sejak awal penanganan sampah merupakan hal serius yang mendapatkan perhatian luas. Pengomposan dengan sistem windrow bergulir adalah salah satu metoda yang dikembangkan untuk membantu penanganan sampah dengan memanfaatkan sampah-sampah organik untuk dijadikan kompos. Windrow bergulir merupakan metoda yang sangat sederhana dan fleksibel sehingga mudah disesuaikan untuk situasi dan kondisi setempat. Definisi proses pengomposan adalah proses penguraian materi organik (seperti sampah daun-daunan, rumput, sisa makanan, kotoran ternak, serbuk gergaji, dsb.) oleh mikroorganisma (bakteri, fungi, aktinomicetes, dsb.) yang bekerja dalam suasana kebutuhan oksigennya terpenuhi menjadi material yang lebih sederhana, sifatnya relatif stabil (seperti humus) atau disebut sebagai kompos.

2. APLIKASI

Sistem windrow bergulir adalah sistem di mana tumpukan sampah yang akan dikomposkan di tumpuk, di sirami secara regular dan diaduk dengan cara digulirkan ke tempat berikutnya secara beruntun.

3. BAHAN, ALAT DAN SARANA

Bahan, alat dan sarana yang dibutuhkan:
 Fasilitas pegomposan (rumah beratap dan tidak berdinding seluas minimal 5 m X 16 m
 Garpu pembalik
 Alat-alat penyiraman.
 Sampah organik

4. PROSEDUR

1. PENGIRIMAN SAMPAH
Pengiriman sampah dari sumbernya ke fasilitas pengomposan dapat dilakukan dengan gerobak atau truk sampah. Pelaksanaan pengiriman sampah ke fasilitas pengomposan dikoordinasikan dengan pihak terkait:
Pengiriman sampah ke fasilitas harus dilakukan secara:
 Kontinyu
 Terjadual.
Kontinuitas dan jadual pengiriman sampah yang teratur ke fasilitas merupakan faktor penting yang akan menjamin kelancaran produksi kompos.
Sampah yang dikirim ke fasilitas pengomposan sebaiknya sampah yang:
 Segar
 Kaya akan bahan organik.
Sampah yang baru datang langsung ditumpahkan ke pelataran pilah untuk dipilah-pilah sesuai dengan peruntukannya.

2. PEMILAHAN
Pemilahan merupakan langkah pertama yang penting dalam proses pengomposan dalam rangka untuk:
 Memperoleh bahan organik terpilih, yang akan dikomposkan.
 Memisahkan bahan-bahan berbahaya yang dapat mengganggu proses pengomposan dan mutu kompos.
.
Sesungguhnya akan lebih mudah apabila sampah yang akan dikomposkan telah dipilah di sumbernya sehingga pekerjaan pemilahan tidak diperlukan lagi di fasilitas pengomposan.

Berdasarkan kepentingannya dalam proses pengomposan, secara umum sampah diklasifikasikan dalam tiga
golongan, yaitu:
 Sampah organik
 Sampah anorganik laku jual/lapak
 Residu sampah
Sampah Organik
Yang dimaksud dengan sampah organik adalah sampah organik yang terpilih yang mudah dan cepat membusuk seperti: sisa sayur-mayur, kulit dan sisa buah-buahan, sampah kebun atau taman sampah rumput-rumputan dan sebagainya.

Barang Lapak
Berbeda dengan sampah organik yang memiliki nilai guna sebagai bahan baku kompos, yang dimaksud dengan barang lapak adalah sampah yang mempunyai nilai guna tinggi yakni sebagai bahan baku produk daur ulang yang bernilai komersial. Barang-barang tersebut antara lain: kertas dan karton, besi atau logam bekas, barang-barang plastic dan sebagainya.

Residu
Yang dimaksud dengan residu adalah bahan yang tidak dibutuhkan lagi untuk pengomposan maupun lapak. Termasuk di dalamnya residu adalah: popok bayi, plastic kemasan tertentu, batere bekas dan sebagainya. Residu sebaiknya ditampung di dalam kontainer yang secara reguler diangkut ke TPA.

3. PENYUSUNAN TUMPUKAN

Sampah organik yang telah dipilah kemudian ditumpuk di fasilitas pengomposan. Secara spesifik dalam system windrow bergulir, sampah ditumpuk dengan dimensi lebar, tinggi dan panjang tertentu yang menurut pengalaman masih memungkinkan proses pengomposan berlangsung optimal.

A. Ukuran Tumpukan
Ukuran tumpukan sampah sistem windrow sistem bergulir yang ideal adalah sebagai berikut:
 Lebar : 2.5 meter
 Tinggi : 1.5 meter
 Panjang : minimal 3 meter
Ukuran tumpukan seperti ini merupakan dimensi yang ideal dimana proses aerasi masih berjalan cukup baik, dan terjaminnya pencapaian temperatur tinggi. Jika tumpukan terlalu kecil, proses aerasi berjalan baik tetapi temperatur tinggi tidak akan tercapai karena efek isolasi tidak berfungsi. Tumpukan yang kecil tidak dapat menahan panas dengan baik. Sedangkan kalau tumpukan terlalu besar dikhawatirkan proses aerasi menjadi terhambat sehingga yang dominan terjadi adalah proses pembusukan anaerobik yang mengakibatkan bau. Tumpukan yang ukurannya terlalu besar juga menyulitkan pembalikan atau perguliran secara manual.

B. Jarak Antar Tumpukan
Jarak antar tumpukan yang ideal adalah antara 0.3 sampai 0.5 meter. Dengan jarak tersebut, masih memungkinkan tersedia ruang yang dapat digunakan dengan leluasa untuk melakukan pemantauan proses pengomposan, seperti pengecekan temperatur, kelembapan, dsb.

C. Cara Penumpukan
Pembentukan tumpukan pertama-tama dapat dilakukan dengan cangkul garpu. Ketika tumpukan makin meninggi pembentukan tumpukan dengan cangkul garpu biasanya semakin sulit dilakukan. Untuk mengatasinya, pembentukan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tandu yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan-bahan sejenisnya.Tumpukan tersebut dibuat tahap demi tahap sampai akhirnya tumpukan yang dibuat akan berbentuk trapesium dengan lebar bagian atas berkisar antara 0.5 sampai 1 meter.

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada saat pembuatan tumpukan:
 Pada saat pembentukan tumpukan sebaiknya bahan disebarkan secara homogen.
 Tumpukan tidak boleh dipadatkan. Hal ini dilakukan agar tumpukan tetap porous sehingga proses areasi berjalan baik.
 Sementara itu, apabila sampah yang dikomposkan terlihat kering, pada saat penumpukan sebaiknya dilakukan juga penyiraman air. Penyiraman air dilakukan secukupnya saja, tidak boleh terlalu basah.


4. PENGKONDISIAN BAHAN BAKU PADA SAAT PENUMPUKAN

Pengkondisian bahan baku kompos tersebut dalam prakteknya di lapangan meliputi :
 Pencampuran bahan
 Kelembapan
Pencampuran bahan diperlukan untuk :
 Membuat heterogenitas sampah menjadi bahan yang homogen atau tercampur merata.
 Dengan meratanya campuran bahan maka rasio C/N yang ideal akan tercapai,
 Kelembapan dan tingkat porositas tumpukan akan menjadi seragam.

Tingkat keseragaman tersebut berpengaruh terhadap tingkat kecepatan proses pengomposan dan keseragaman waktu pematangan kompos.
Aktivitas pencampuran bahan dapat dilakukan:
 Pada saat pembentukan tumpukan. Kegiatan tersebut tidak perlu dilakukan secara khusus pada saat sebelum pembentukan tumpukan karena akan menyita waktu. Sambil membentuk tumpukan, bahan-bahan yang dikomposkan disebarkan secara merata di dalam tumpukan.
 Proses pencampuran selanjutnya juga akan terjadi dengan sendirinya ketika proses pembalikan atau perguliran berlangsung selama proses pengomposan. Tingkat kelembapan yang dikehendaki dalam proses pengomposan adalah sekitar 50 sampai 60 persen (berat). Adakalanya sampah organik yang dikomposkan setelah dicampur merata relatif lebih kering dari kondisi ideal, terutama pada musim kemarau, atau relatif basah, pada musim hujan.
 Jika kondisinya terlalu kering, maka perlu dilakukan penyiraman pada saat pembentukan tumpukan.
 Penyiraman dilakukan seperlunya, tidak boleh terlalu basah.
 Sementara itu jika kondisinya terlalu basah, jika memungkinkan ditambahkan padanya bahan-bahan yang relatif kering seperti rumput-rumputan, serbuk gergaji atau sampah daun. Kondisi berlebihnya tingkat kelembapan biasanya jarang terjadi, meskipun pada musim hujan, apabila proses pencampuran bahan berjalan baik.

5. PEMANTAUAN

Proses pengomposan perlu selalu dipantau untuk memastikan bahwa kondisi ideal yang diperlukan untuk berlangsungnya proses tersebut terjaga mulai dari awal sampai akhir proses. Pemantauan dapat dilakukan setiap saat agar kegagalan proses pengomposan dapat dicegah sedini mungkin. Secara praktis dan sederhana, yang dipantau dalam proses pengomposan sistem windrow bergulir adalah:
 Tingkat kelembapan
 Temperatur tumpukan

Seperti telah diketahui bahwa, kelembapan ideal tumpukan pengomposan adalah antara 50 – 60 persen. Dengan kelembapan tersebut bahan yang dikomposkan cukup basah untuk mendukung kehidupan mikroorganisma kompos dan cukup memberikan ruang antar partikel bahan untuk proses aerasi. Cara Menentukan Kelembapan
Secara sederhana tingkat kelembapan bahan yang dikomposkan dapat dirasakan dengan metode genggam.
 Pertama-tama diambil bahan yang berasal dari tengah-tengah tumpukan (bukan bagian luar).
 Bahan tersebut kemudian digenggam (tangan tidak memakai sarung tangan) atau diremas :
 Apabila dari sela-sela jari muncul tetes-tetes air, maka bahan tersebut dinyatakan terlalu basah
 Sebaliknya apabila digenggam tidak muncul tetes air dan ketika genggaman dibuka bahan buyar kembali, maka dinyatakan terlalu kering
 Tingkat kebasahan yang cocok untuk pengomposan dapat dirasakan seperti menggenggam spon basah yang telah diperas, dan tanpa ditandai dengan adanya air yang keluar dari sela-sela jari.
Jika tumpukan terlalu lembab atau basah proses pengomposan aerobik akan berubah menjadi proses pembusukan yang berlangsung anaerobik. Perubahan menjadi proses anaerobik ditandai dengan munculnya bau busuk, berkembang biaknya lalat dan munculnya lindi. Jika tumpukan terlalu kering, proses pengomposan biasanya terhenti ditandai dengan tidak terjadinya temperatur tinggi dalam tumpukan.
Temperatur merupakan indikator yang penting dalam menentukan apakah proses pengomposan berjalan optimal sehingga perlu dicatat setiap harinya. Untuk mendapatkan profil temperatur tumpukan maka temperatur perlu dicatat dalam formulir khusus. Pada formulir tersebut juga dicatat perlakuan apa saja yang dilakukan pada hari yang bersangkutan. Perlakuan tersebut dapat berupa penyiraman dan perguliran.

6. PERGULIRAN ATAU PEMBALIKAN

Perguliran merupakan aktivitas memindahkan tumpukan dari tempatnya ke tempat berikutnya. Maksud utama dari perguliran adalah:
 Untuk membalik bahan yang ditumpuk,
 untuk memindahkan bahan sampai ke area kompos matang.
 untuk memudahkan pengawasan proses pengomposan
 Proses pembalikan tumpukan pada proses pengomposan umumnya dilakukan adalah pembalikan di tempat itu juga, tetapi pada sistem bergulir ini pembalikan dilakukan sambil sambil memindahkan tumpukan secara bertahap sehingga terdapat :
 Area khusus untuk tumpukan sampah yang segar, area tumpukan yang sedang aktif proses pengomposannya, dan
 Area kompos jadi.

1. Cara Perguliran
Cara perguliran sama dengan cara membuat tumpukan yang baru. Hanya saja pembuatan tumpukan berikutnya hendaknya memperhitungkan segi penyusutan volume sampah. Pada saat perguliran, volume sampah akan lebih sedikit dari volume sebelumnya:
 Setelah satu minggu ditumpuk volume sampah biasanya berkurang 30 persen dari bahan awal.
 Setelah ditumpuk selama dua minggu menyusut sekitar 50 persen
 Setelah tiga minggu menyusut sekitar 60 persen
 Setelah minggu keempat menyusut sekitar 70 persen
 Setelah minggu keempat persentasi penyusutannya relatif kecil
Pembuatan tumpukan baru pada saat perguliran hendaknya mempertahankan dimensi baku dengan ukuran:
 Lebar : 2.5 meter,
 Tinggi : 1.3 – 1.5 meter
 Sedangkan ukuran panjangnya tergantung dari volume sampah yang tersisa.
Sebagai catatan, setelah tumpukan berumur dua minggu, dua buah tumpukan dengan umur yang sama dapat disatukan menjadi satu tumpukan. Dengan demikian penggunaan lahan menjadi lebih efisien. Penggabungan dua tumpukan tersebut akan :
 Menjamin dimensi tumpukan tetap besar sehingga mampu mempertahankan efek isolasi (menahan panas).
 Mengefisienkan penggunaan lahan pengomposan
Terkadang jika tumpukan dalam pengomposan aktif dimensinya menjadi makin kecil, efek isolasinya berkurang sehingga temperatur yang dicapainya menjadi rendah, padahal bila dimensinya benar temperature mungkin saja masih tinggi. Dengan rendahnya pencapaian temperatur, kadang-kadang praktisi kompos menganggap bahwa kompos yang diproduksinya sudah matang, padahal sesungguhnya masih belum matang.

2. Waktu Perguliran
Berdasarkan pengalaman, perguliran tumpukan secara rutin cukup dilakukan seminggu sekali. Frekuensi pembalikan tersebut sudah cukup baik untuk menjamin proses pengomposan berjalan secara optimal.
 Jika tumpukan digulirkan lebih sering dari itu, misalnya seminggu dua kali, proses pengomposan tentu lebih optimal, hanya saja tenaga kerja yang diperlukan akan lebih banyak sehingga tidak efisien.
 Sementara itu jika jangka waktu perguliran lebih lama dari satu minggu, misalnya dua minggu sekali, proses pengomposan akan memakan waktu lebih lama.
3. Manfaat Perguliran
Manfaat dari perguliran adalah untuk:
 Menjaga agar proses aerasi tumpukan berlangsung dengan baik. Dengan aerasi yang baik, proses
pengomposan akan berlangsung cepat.
 Memberi kesempatan pada setiap bahan untuk terekspos temperatur tinggi di pusat tumpukan. Ekpos bahan pada temperatur tinggi selama beberapa minggu akan memberikan efek sterilisasi bahan pada bakteri patogen, larva lalat dan bibit gulma sehingga produk komposnya akan terbebas dari bakteri patogen dan bibit gulma.
 Pencampuran bahan-bahan yang dikomposkan menjadi homogen dan memperkecil bahan yang ukurannya besar. Dengan campuran yang merata, proses pengomposan akan lebih baik.
 Membantu penghancuran bahan yang dikomposkan. Apabila tumpukan terlalu basah, perguliran bermanfaat untuk menguapkan air sehingga tumpukan menjadi lebih kering.
 Memisahkan area kotor (area sampah masuk) dengan area bersih (area kompos matang).
 Mengarahkan tumpukan ke tempat pengayakan kompos (area bersih)
 Memudahkan pekerja dalam pemantauan pengomposan terutama dalam menentukan umur tumpukan.

7. PENYIRAMAN

Penyiraman dilakukan apabila sampah yang dikomposkan terlalu kering atau kurang lembab.
1. Waktu Penyiraman
Penyiraman tumpukan dapat dilakukan kapan saja ketika tumpukan kurang lembab. Penyiraman secara intensif biasanya dilakukan pada minggu pertama sampai minggu ketiga karena proses penguapan berlangsung cepat sebagai akibat dari temperatur yang tinggi. Penyiraman dilakukan agar kelembapan tumpukan tetap terjaga antara 40 - 60 persen. Setelah minggu ketiga, frekuensi dan jumlah air yang disiramkan dikurangi. Pada dua minggu terakhir proses pengomposan (minggu keenam dan ketujuh), penyiraman biasanya tidak dilakukan lagi. Pada saat tersebut proses pengomposan sudah tidak seaktif minggu-minggu sebelumnya. Masa tersebut dapat disebut sebagai masa pematangan kompos. Dengan tidak dilakukan penyiraman pada dua minggu terakhir tersebut, produk komposnya akan memiliki kelembapan yang diinginkan yaitu sekitar 30 persen sehingga mudah diayak dan tidak terlalu lembab.

2. Cara Penyiraman
Penyiraman dapat dilakukan dengan gembor atau sprayer secara merata ke dalam tumpukan. Terdapat dua cara penyiraman yaitu :
 Cara penyiraman tanpa membalik tumpukan (dilakukan sewaktu-waktu)
 Penyiraman dengan membalik tumpukan (dilakukan pada saat perguliran tumpukan).
Penyiraman tanpa membalik tumpukan dilakukan dengan cara menyiramkannya langsung ke permukaan tumpukan. Ketika disiram, bagian permukaan tumpukan akan terlihat cukup basah, namun hal ini belum tentu menunjukKan bahwa bagian dalamnya sudah cukup mendapatkan air. Untuk mengecek apakah bagian dalamnya sudah cukup basah dapat dilakukan dengan membuka bagian dalam tumpukan dengan cangkul garpu. Idealnya, penyiraman dilakukan pada saat pembalikan. Pada saat tersebut penyiraman dapat dilakukan selapis demi selapis agar air yang disiramkan menjadi lebih merata sehingga kelembapan tumpukan seragam.

8. KEMATANGAN KOMPOS

Setelah 6 atau 7 minggu masa pengomposan, biasanya sampah telah matang menjadi kompos matang. Lamanya proses pengomposan sangat tergantung pada karakter sampah yang dijadikan sebagai bahan baku.

9. PEMANENAN

Kompos dipanen apabila telah memenuhi kriteria-kriteria kematangan. Pemanenan dilakukan dengan mengayaknya kemudian mengemasnya atau menumpuknya di gudang. Jika tidak tersedia gudang sebaiknya kompos yang sudah jadi ditutup dengan penutup yang kedap air untuk melindunginya dari hujan dan bibit gulma yang terbawa angin. Ciri-ciri kompos matang adalah: berbau seperti tanah, bentuknya sudah hancur (tidak menyerupai bentuk awalnya lagi), berwarna coklat kehitaman dan suhunya sudah rendah/normal.

10. PENGAYAKAN

1. Tujuan Pengayakan
Maksud utama dari pengayakan adalah untuk :
 Memperoleh ukuran partikel kompos yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Biasanya, konsumen membutuhkan kompos yang relatif halus untuk pembibitan dan tanaman pot. Sedangkan untuk tanaman keras cukup dengan kompos yang kasar.
 Memisahkan bahan-bahan yang belum terkomposkan secara sempurna. Bahan yang belum terkomposkan secara sempurna dapat dikembalikan lagi ke dalam tumpukan yang baru, atau dibuang sebagai residu.
 Memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat dikomposkan yang lolos selama proses pemilahan awal dan pemilahan pada saat pembalikan/proses pengomposan. Bahan-bahan yang terpilah dikumpulkan di ruang lapak atau residu. Proses pemilahan selama pengayakan merupakan salah satu tahapan penting dalam menjaga kualitas kompos.

2. Kategori Ukuran Kompos
Standarisasi ukuran kompos tidak ada. Tetapi berdasarkan pengalaman, biasanya ukuran kompos dibagi dalam tiga kategori yaitu ukuran halus, sedang dan kasar. Kategori tersebut adalah sebagai berikut:
 Kategori I, kompos halus yang diayak dengan ayakan yang lubang-lubangnya berukuran 10 mm x 10 mm
 Kategori II, kompos ukuran sedang dengan ayakan yang lubang-lubangnya berukuran 15 mm x 15 mm
 Kategori III, kompos ukuran besar dengan ayakan yang lubang-lubangnya berukuran 25 mm x 25 mm

3. Jenis-jenis Ayakan Manual
Kompos dapat disaring dengan berbagai jenis ayakan manual seperti ayakan pasir, ayakan goyang, dan ayakan drum berputar. Besarnya lubang ayakan dapat diubah-ubah sesuai dengan ukuran kompos yang diinginkan.

4. Hindari Penggilingan Kompos
Untuk mendapatkan partikel kompos yang halus bisa dilakukan dengan mesin penggiling kompos sehingga tidak diperlukan pengayakan lagi. Mesin penggiling kompos dapat menghancurkan bongkahan-bongkahan kompos dan materi besar yang terdapat dalam kompos. Oleh karena itu, materi kompos yang keluar dari mesin tersebut fraksinya sudah halus. Dalam kasus kompos sampah kota, sebaiknya dihindari penggunaan mesin penggiling terutama apabila kompos mengandung banyak kontaminan baik itu berupa pecahan lapak maupun serpihan residu.

11. PENGEMASAN

Kompos yang telah diayak dapat dikemas ke dalam kantung plastik (kedap air) atau karung. Apabila kompos tersebut akan dijual maka kantung kemasan sebaiknya diberi label yang baik yang menginformasikan :
 Nama produk kompos,
 Cara penggunaan kompos,
 Kandungan unsur hara,
 Nama dan alamat perusahaan,
 Kegunaan kompos.
Sedangkan kantung yang lazim digunakan untuk pengemasan kompos adalah sebagai berikut :
 Kantung plastik ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus seberat sekitar 3 kg.
 Kantung plastik (kedap air) ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus seberat sekitar 5 kg.
 Karung plastik berukuran 90 cm x 60 cm baik untuk kompos jenis halus, kasar maupun sedang sebanyak sekitar 35 kg.

12. PENYIMPANAN

Baik kompos yang telah dikemas maupun yang belum dikemas sebaiknya disimpan di dalam gudang yang tidak lembab dan terisolasi dari bibit rumput/gulma serta aman dari gangguan binatang. Ruangan yang lembab dapat memicu pertumbuhan jamur pada kompos yang dikemas sehingga merusak daya tarik kemasan.


5. REFERENSI

Metoda ini bersumber pada metoda yang disusun oleh Pusat Teknologi Lingkungan (Pustekling) – BPPT dan juga dari hasil percobaan-percobaan pengomposan yang dilakukan oleh DPM Environment sejak bulan Juni 2008-November 2008.

Sunday, November 23, 2008


greenhouse



jati putih


durian